Jakarta – Polisi tegas-tegas menyatakan Dishub tidak berhak menilang
kendaraan pribadi. Jadi warga berhak menolak jika kebetulan di jalan distop
petugas berbaju biru muda itu.

“Itu perampasan hak pengguna jalan namanya. Dia menyalahgunakan wewenang
yang diatur pada pasal 423 KUHP,” tegas Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes
Pol Djoko Susilo kepada detikcom, Rabu (27/6/2007)

Masyarakat, imbuh dia, bisa langsung melaporkannya kepada polisi. “Kita
menuntut masyarakat patuh. Tapi kalau aparat melanggar, kalau semua petugas
di Jakarta bisa seenaknya menangkap, bagaimana? Penyelesaian akhir kasus
hukum ada di polisi,” tegas Djoko.

Polisi pun, kata dia, berhak menangkap petugas Dishub yang menyalahi
kewenangannya di jalan. Sebab ulah sebagian oknum Dishub ini telah membuat
masyarakat kebingungan dalam mendapatkan kebenaran, keadilan dan
perlindungan.

“Jadi kalau ditilang Dishub, tolak saja. Tanyakan dasarnya apa. Kalau
dibilang Perda, Perda yang mana. Suruh dia bacain aturannya,” tegas Djoko.

Selama ini, Dishub selalu memakai dasar ketentuan pasal 237 UU No 32/2004
tentang Pemda. Pasal itu menyebutkan, semua ketentuan peraturan perundangan
yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan
menyesuaikan pengaturannya pada UU ini. “Termasuk UU No 14/1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Umum,” kata Djoko.

Padahal dalam penjelasan pasal 237, imbuh Djoko, yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini antara lain, peraturan
perundang-undangan sektoral, seperti UU Kehutanan, UU Pengairan, UU
Perikanan, UU Pertanian, UU Kesehatan, UU Pertanahan, dan UU Perkebunan,
yang menjadi otoritas gubernur.

“Perhubungan nggak ada, berarti masuk nasional,” tegas Djoko.

Penjelasan pasal itu juga mengatur 6 hal yang tidak didelegasikan kepada
pemda, yakni politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yurisdiksi (hukum),
moneter, dan agama.

“Tapi Dishub nganggap semuanya. Padahal tidak, penyelenggara utama penegakan
hukum di jalan tetap mengacu pada UU No 14/1992 dan PP-nya,” katanya.

Dalam UU No 32/2004, Dishub disebutkan hanya mengatur urusan moda
transportasi, bagaimana sistem jaringannya.

Soal upaya menyamakan persepsi antara Polri dan Dishub, Djoko menyerahkannya
kepada Koordinator Pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). “Ya
mungkin nanti akan digelar pertemuan-pertemuan , tapi itu terserah Polda,”
katanya.

Sumber: detikcom < <http://www.detik.com/&gt; http://www.detik.com/&gt;

Dirlantas Polda Metro: Dishub DKI Salah Kaprah!

Jakarta – Dishub DKI Jakarta merasa punya wewenang menilang kendaraan di
jalan. Tindakan itu dianggap Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Pol Djoko
Susilo sudah salah kaprah.

“Salah kaprah! Nggak boleh itu. Dishub tidak punya kewenangan menilang,”
tegas Djoko saat dihubungi detikcom, Rabu (27/6/2007).

Masyarakat, tutur dia, membutuhkan kepastian hukum supaya ada kebenaran, ada
keadilan, dan persamaan hak, termasuk dalam hal berlalu lintas.

“Kalau aparat salah menerapkan aturan, bagaimana masyarakat mau mengikuti?
Kalau aparat sudah melanggar hukum, bagaimana? Tidak ada keadilan dan
kebenaran,” tegasnya.

Harusnya, imbuh dia, Dishub DKI memahami aturan yang berlaku. Khususnya soal
penyidik yang diatur dalam pasal 6 KUHAP, yang dianggapnya paling mendasar.

Dalam pasal itu diatur tentang penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS).

“Nah, yang dimaksud PPNS itu siapa? Kalau Dishub, tidak semua anggota Dishub
masuk PPNS. Karena PPNS harus punya kualifikasi penyidikan dan dilatih dulu.
Dalam UU Kepolisian yang berhak melatih polisi,” tuturnya.

Soal kewenangan penyidik ini, imbuh dia, sudah diatur dalam ayat 1 pasal 7
KUHAP, bahwa wewenang penyidik itu salah satunya menolong korban, menerima
pengaduan, penangkapan dan sebagainya.

Sedangkan wewenang PPNS diatur ada lingkup tugas tertentu. Misalnya,
departemen tertentu, sesuai lingkup UU yang menjadi dasar tugas PNS
bersangkutan. “Dia tidak bisa melakukan kewenangan di luar itu,” tegasnya.

Dalam UU 14/1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum sebagaimana yang
dijabarkan dalam pasal 4 dan 8 Peraturan Pemerintah (PP) 42/1993 dibeberkan
kewenangan PPNS (Dishub).

Dalam pasal itu dijelaskan, kewenangan Dishub hanya menyangkut pemeriksaan
terhadap tanda bukti lulus uji, melakukan pemeriksaan terhadap fisik
kendaraan yang meliputi ada 15 item, yaitu sistem rem, sistem kemudi, posisi
roda depan, badan dan kerangka kendaraan, permuatan, klakson, lampu,
penghapus kaca, kaca spion, ban, emisi gas buang, kaca depan dan kaca
jendela, alat pengukur kecepatan, sabuk keselamatan, perlengkapan, dan
peralatan.

Sementara kewenangan polisi diatur dalam pasal 3 dan 7 PP yang sama, yaitu
pemeriksaan terhadap Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), BPKB, SIM, Surat
Tanda Coba Kendaraan, meminta keterangan kepada pengemudi, dan menghentikan
kendaraan bermotor.

“Jadi kalau Dishub menghentikan kendaraan tidak boleh itu. Kalau pun boleh,
itu diatur dalam pasal 18 UU yang sama dan harus dilakukan bersama-sama
polisi,” tutur Djoko.

Itu pun, imbuh Djoko, dengan dengan pertimbangan karena
kecelakaan/pelanggaran meningkat yang disebabkan kendaraan tidak laik jalan.

Sayangnya, kata Djoko, Dishub selalu memakai ketentuan dalam ayat 1 pasal 53
UU 14/1992. Ayat itu menyebutkan, selain pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, pejabat PNS tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan, lalu lintas dan angkutan jalan,
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU 8/1981
tentang KUHAP untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang lalu lintas
dan angkutan jalan.

Padahal dalam penjelasan ayat 1 pasal 53, penyidikan pelanggaran terhadap
persyaratan teknis dan laik jalan memerlukan keahlian, sehingga perlu ada
petugas khusus untuk melakukan penyidikan selain petugas.

“Mengacu pada KUHAP seakan-akan tugasnya sama dengan polisi seperti yang
tertuang pada pasal 6 ayat 1 a. Padahal dalam pasal dimaksud tugasnya tidak
sama dengan kewenangan polisi,” tegas dia.

Sumber: detikcom < <http://www.detik.com/&gt; http://www.detik.com/&gt;